Kamis, 17 November 2011

UUD 4 THN 1992 'PEMUKIMAN'

PENJELASAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
UMUM
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati diri.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh Pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.

Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang dan sesuai dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.

Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha milik negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.

Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.

Di samping usaha meningkatkan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.

Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah memberikan landasan bagi pembangunan perumahan dan permukiman yang pada hakikatnya sangat kompleks dan bersifat multidimensional serta multisektoral, perlu ditangani secara terpadu melalui koordinasi yang berjenjang di setiap tingkat pemerintahan serta harus sesuai dengan tata ruang.

Di samping itu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, juga memberikan landasan bagi pembinaan perangkat kelembagaan di daerah dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan di daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, memberikan landasan bagi pembinaan penyuluhan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di daerah perdesaan dalam rangka mendorong dan menggerakkan usaha bersama masyarakat secara swadaya.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman, sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.

Guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan permukiman pada masa kini dan masa yang akan datang, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai.

Sehubungan dengan itu, maka dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tersebut dengan Undang-undang baru tentang Perumahan dan Permukiman.

secara khusus:
Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia,semakin pesatnya peningkatan jumlah populasi manusia berbanding lurus dengan semakin pesatnya pembangunan perumahan untuk itu perlu dibuat peraturan yang mengatur perumahan dan permukiman.Setiap orang atau badan yg membangun rumah atau pun perumahan wajib mematuhi peraturan2 yg telah dibuat negara dan mengikuti persyaratan teknis,ekologis dan administratif serta melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan.

Untuk mewujudkan permukiman yang layak,sehat,aman dan serasi serta berlandaskan pancasila,peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan perlu diupayakan. Untuk itu dibuatlah UU NO 4 TAHUN 1992 yang mengatur tentang perumahan dan permukiman. Undang-undang ini terdiri dari 42 pasal yang terbagi dalam 8 bab. Berikut ini adalah penjelasan singkat undang2 tersebut tiap bab-nya.
• Bab kesatu,KETENTUAN UMUM (pasal 1dan 2),dalam bab ini dijelaskan mengenai rumah,perumahan,permukiman dsb dan tentang lingkup peraturan.
• Bab kedua,ASAS DAN TUJUAN (pasal 3 dan 4) menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan permukiman.
• Bab ketiga,PERUMAHAN ( pasal 5 s/d 17) menjelaskan aturan2 tentang hak dan kewajiban WN dalam pembangunan perumahan.
• Bab keempat,PERMUKIMAN (pasal 18 s/d 28) menjelaskan bahwa rencana tata ruang ditetapkan oleh pemda,pemerintah memberi bimbingan dan bantuan kpd masyarakat dalam pengawasan bangunan untuk meningkatkan kualitas permukiman.
• Bab kelima,PERAN SERTA MASYARAKAT (pasal 29) berisi tentang hak dan kewajiban yg sama bagi tiap WN dalam pembangunan.
• Bab keenam,PEMBINAAN (pasal 30-35) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan pembinaan agar masyarakat menggunakan teknologi tepat guna.
• Bab ketujuh,KETENTUAN PIDANA (pasal 36-37) berisi tentang sanksi yang diterima bila melakukan pelanggaran terhadap peraturan2 di atas
• Bab kedelapan,KETENYUAN LAIN2 (pasal 38-40) mengatur tentang pencabutan badan usaha yang melakukan pelanggaran atas pasal2 di atas

Contoh aplikasi dari UU NO 4 TAHUN 1992 :

beberapa waktu lalu di daerah Maluku terdapat penempatan rumah dinas yang dtempati oleh para keluarga dari pensiuanan TNI-AD dan keluarga veteran mereka menempati rumah yang sudah mereka tinggali selama puluhan tahun.dan mereka tidak mau pindah akhirnya mereka digugat dgn pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN 1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000" karena dituduh menempati rumah yg bukan hak miliknya.Sedangkan isi pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik"
dan beberapa keluarga ini keluar dari rumah tersebut

http://www.penataanruang.net/taru/hukum/UU_4_1992.pdf
http://www.asiamaya.com/undang-undang/uu_perumahan/penjelasan_umum.htm
http://landspatial.bappenas.go.id/peraturan/the_file/UU_no4_1992.pdf

perencanaa fisik pembangunan

Perencanaa fisik adalah suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisik.

4 lingkup
-nasional
-regional
-lokal
-sektor swasta
LINGKUP NASIONAL
Kewenangan semua instasi tingkat pemerintahan pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral. departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah
-departemen pekerjaan umum
-departemen perhubungan
-departemen perindustrian
-departemen pertanian
-departemen pertambangan
-energi departemen nakertrans
Perencanaan fisik pada tingkat nasional tidak memepertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifikasi dan mendetail.
missal nya :
program subsidi untuk pembangunan peruamahan atau program perbaikan kampong pada tingkat nasional tidak akan di bahas secara terperinci dan tidak membahas spesifikasi program ini pada suatu daerah.
LINGKUP REGIONAL
instasi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkat regional di Indonesia adalah pemda tingkat 1 di samping adanya dinas-dinas daerah maupun vertical.
contohnya :
-dinas PU
-DLLAJR
-kanwil-kanwil yang mengkoordinasi adalah BAPPEDA tingkat 1 di setiap provinsi.
Walaupun pertingkat kota dan kabupaten konsistensi sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah di gariskan di atas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai ketentuan dalam mengurus perencanaan wilayah sendiri


LINGKUP LOKAL
tingkat kodya atau kabupaten biasanya seperti di bebankan kepada dinas-dinas.
contohnya : dinas PU,dinas TATA KOTA,dinas kebersihan,dinas pengawasan pembangunan kota,dinas kesehatan,dinas PDAM.
berdasarkan kepres NO.27 th 1980 utnuk BAPPEDA tingkat II

LINGKUP SWASTA
Lingkup swasta dulu nya hanyalah sebatas pada skala perencanaan pembangunan perumahan,jaringan utilitas,pusat perbelanjaan.sekarang semakin positive menjadi indicator untuk memicu diri bagi instasi pemerintahan maupun BUMN.
persaingan muncul menjadikan tolak ukur bagi tiap-tiap competitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan atau produk
UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang subantsinya sangat protektif terhadap hak-hak buruh. Misalnya, dalam UU Nomor 12 Tahun 1948, ada pasal yang melarang diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; larangan mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun; jaminan hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan; dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.

dan lebih diperjelas lagi dalam UUD NO.12 TH 1948
Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10 ayat 1 mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu “.
Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya dalam jangka waktu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan tersebut diatas. Hal tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah No 4 tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat mengadukan aturan waktu kerja yang menyompang dari pasal 10 ayat 1, kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948.
Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang : “ Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan – perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehatri dan 54 jam seminggu “.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964

TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UMUM.
Bagikaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengansegala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaumburuh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapipengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapatdicegah seluruhnya.
Berbagaijalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjaumasak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hematPemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepatbagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokokpikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalahsebagai berikut:
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguhdalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkinpemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalambeberapa hal dilarang.
2. Karena pemecahan yang dihasilkan olehperundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterimaoleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, makadalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakankewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3. Bila jalan perundingan tidak berhasilmendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil kemuka dan campur-tangandalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentukcampur-tangan ini adalah pengawasan prepentip, yaitu untuk tiap-tiap pemutusanhubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasanprepentip ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan PerburuhanDaerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5. Dalam Undang-undang ini diadakanketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, memintabanding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwabilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibatdari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan bebankaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyekyang lain.
7. Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, effisiency dan rationalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.

Menimbang : bahwa untuk lbih menjamin ketentraman dan kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil dan makmur, seperti yang tersebut dalam manifesto politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar;
2. undang-undang No. 10 Prp Tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 Tahun 1964;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

MEMUTUSKAN :
I. Mencabut ; "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders" (Staatblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Pasal 1

(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya atau yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2

Bila telah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.

Pasal 3

(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termasuk dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termasuk dalam pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-basaran .
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4

Izin termasuk dalam pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemogokan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6

Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.

Pasal 7

(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah dan Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur didalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut diatas.

Pasal 8

Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut dalam pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi Buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9

Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalan tingkat banding.

Pasal 10

Pemutusan hubungan kerja tanpa izin tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11

Selama izin termaksud dalam pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12

Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

hukum perikatan dan undang-undang

Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban. Dan sumber hukum perikatan adalah Perjanjian dan Undang - Undang.

tiga hal yang harus diketahui dalam mendefinisikan suatu perjanjian:
- adanya suatu barang yang akan diberi
- adanya suatu perbuatan dan
- bukan merupakan suatu perbuatan

Dalam melakukan Perjanjian sah harus disyaratkan pada
- Bebas dalam menentukan suatu perjanjian
- Cakap dalam melakukan suatu perjanjian
- Isi dari perjajian itu sendiri
- Perjanjian dibuat harus sesuai dengan Undang - Undang yang berlaku

seorang yang berpiutang memberikan pinjaman kepada yang berutang, dan yang berutang tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam membayar utang maka yang berpiutang dapat melakukan tuntutan dengan 3 cara :
- Parade Executie (melakukan perbuatan tanpa bantuan dari pengadilan yang hal ini kaitannya dengan hakim)

- reel executie ( dimana hakim memberikan kekuasaan kepada berpiutang untuk melakukan suatu perbuatan)

- Natuurelijke Verbintenis (Secara suka rela dipenuhi/dibayar)

Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1831463-hukum-perikatan/#ixzz1dtXDIEse

hukum perikatan dan perjanjian

TENTANG PERIKATAN DAN PERJANJIAN
Perikatan

Perikatan adalah sauatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perikatan arti lain ialah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan terjadi karena :
1. Perjanjian
2. Undang – Undang
Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka.

Perjanjian

suatu Peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah, timbul suatu hubungan hukum antara dua orang itu yang dinamakan Perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang yimbul dari undang – undang.
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian.

Asas – asas dalam Hukum Perjanjian
1. Asas Kebebasan Berkontrak.
Adalah, segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas Konsensualisme.
Adalah, perjanjian itu lahir saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal – hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikat Diri.
2. Cara untuk Membuat Suatu Perjanjian.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu.
4. Suatu Sebab yang Halal.
3.4 Jenis – Jenis Resiko
Jenis – jenis resiko digolongkan menjedi dua kategori, yaitu resiko dalam perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbale balik :
1. Risiko dalam Perjanjian Sepihak.
2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik.
3. Risiko dalam jual beli diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata.
4. Risiko dalam tukar menukar diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata.
5. Risiko dalam sewa menyewa diatur dalam pasal 1553 KUH Perdata.


Hubungan antara Perikatan dengan Perjanjian.

Perjanjian adalah sumber dari adanya Perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting dari suatu Perikatan. Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.


Bentuk-Bentuk Perikatan

1. Perikatan Bersyarat
2. Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
3. Perikatan Mana Suka (Alternatif)
4. Perikatan Tanggung Menanggung
5. Perikatan Yang Dapat Dibagi dan Yang Tidak Dapat Dibagi
6. Perikatan Dengan Ancaman Hukuman


1. Perikatan Bersyarat
Suatu Perikatan dinyatakan bersayarat, apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hinggaterjadinya peristiwa semacam itu, maupun membatalkan perikatan menurut
terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
2. Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan,
melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya ataupun menentukan lama waktu
berlakunya suatu perikatan atau suatu perjanjian.
3. Perikatan Mana Suka
Suatu perikatan dimana si berhutang dibebaskan jka ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan di dalam Perjanjian.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
suatu perikatan yang didalamnya terdapat banyak pihak, dimana debitur secara bersama-sama menanggung hutang.


Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa dihapus jika memenuhi kriteria – kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian sukarela.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan.
3. Pembaharuan utang.
4. Penjumpaan uang atau kompensasi.
5. Pencampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Batal / pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Lewat waktu.

http://ughytov.wordpress.com/2011/05/18/bab-iii-hukum-perikatan/